Home

Tuesday, May 25, 2010

Sorgum untuk Ketahanan Pangan


Pembudidayaan kembali tanaman sorghum di NTT, adalah salah satu hasil rekomendasi dari Peringatan Hari Pangan Sedunia yang dilaksanakan bulan Oktober 2009 di Sengari.
Salah satu issue utama yang dibahas adalah ancaman krisis pangan di Indonesia yang diperkirakan akan terjadi tahun 2035. Dengan prediksi jumlah penduduk 400 juta pada saat itu, kebutuhan beras nasional diperkirakan menepis angka 36 juta ton. Sementara, produksi beras nasional saat ini masih menari-nari di kisaran 25 juta ton sampai 29 juta ton.

Di desa Gapong dan Desa Perak, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai, tercatat konsumsi beras per orang per bulan sebanyak 20 kg. Sementara rata-rata produksi beras di 2 desa ini hanya 4 kg/orang/bulan artinya sebanyak 16 kg masih harus didapat dari luar desa.

Upaya mendongkrak produksi beras, tampaknya bukan perkara gampang. Seperti kita tahu, dalam dua dekade terakhir, telah terjadi pengalihan fungsi lahan pertanian secara massal. Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN) sekitar 81.176 hektar lahan pertanian di Pulau Jawa telah disulap menjadi area pemukiman dan industri. Belum lagi daerah lainnya. Fakta ini menunjukkan riskannya ketahanan pangan nasional jika hanya mengandalkan satu komoditi, yakni beras. Karena itulah upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian, tanaman pohon atau biji-bijian, menjadi amat penting. Sorgum adalah salah satu pilihan utama.

Sorgum dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi. Di Thailand, misalnya, makanan berbasis tepung ini variasinya banyak sekali. Mulai dari kue basah hingga bubur bayi. Anehnya, di Indonesia, sorgum bukanlah menu favorit dan kalah populer dibanding beras.

Padahal, dari nilai gizinya sorgum jauh lebih unggul ketimbang beras. Lihat saja. Kandungan protein satu gram sorgum ternyata 1,6 kali lipat ketimbang beras. Sorgum juga memiliki kandungan besi 5,5 kali lipat ketimbang beras, 2,05 kali lipat fosfor, 3,1 kali lipat vitamin B1, 4,7 kali lipat lemak dan 4,6 kali lipat kalsium.
Tak berlebihan jika sorgum dikatakan sebagai primadona pangan alternatif. Dibanding beras, sorgum relatif tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang rewel. Ia memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi untuk tumbuh di lahan-lahan marjinal, seperti lahan kering, lahan kosong yang kurang subur, dan lahan nonproduktif lainnya. Potensinya sangat besar. Data dari Departemen Pertanian menunjukkan potensi lahan marginal di seluruh Indonesia sekitar 853 ribu hektare. Keunggulan lain, sorgum dapat ditanam dengan sistem ratun yang memerlukan sedikit tenaga kerja. Hebatnya lagi, Sorgum dapat dipanen dua hingga tiga kali untuk sekali tanam saja.

No comments:

Post a Comment