Home

Saturday, March 30, 2013

Cinta butuh bahan candaan agar buku harian tak penuh dengan sedu sedan

Speaker Ipod kesayangan saya rusak. Setiap dipasang suara nya sember kayak kumpulan kaleng rombeng yang digeber-geber.  Membuat sakit telinga dan ingin  jauh-jauh saya lempar.
Saya merasa , speaker Ipod saya bersekongkol dengan pacar dan anak-anak saya, yang satu menolak saya telepon dan yang lainnya malah mematikan hape. Mereka pasti merasa suara saya sudah seperti kaleng rombeng yang digeber-geber juga karena belakangan ini lebih sering terdengar dengan nada tinggi melulu , sehingga  mereka merasa perlu melindungi indra pendengarnya dari suara saya.
Bisa jadi juga , speaker saya memberi signal untuk mengistirahatkan dia dulu, karena terlalu sering dipakai terus menerus memutar musik meditasi saya tanpa jeda. Bisa jadi itu juga pertanda bahwa saya harus diam tak menggunakan mulut saya untuk berbicara  dan hanya mendengarkan suara  hati saya sendiri.

Apapun itu , sekarang ini , saya cuma ditemani setumpuk buku-buku yang belum selesai saya baca. Ada buku hasil pinjaman dan ada buku yang  saya beli karena dapat diskonan. Semua buku-buku itu tidak menarik saat ini, cuma saya susun bertumpuk untuk dudukan speaker Ipod saya yang sedang rusak. 
Saya jadi ingat , saya punya wedges rusak L,  selop dengan tumit kayu coklat yang besar dan tinggi  berwarna hitam dibagian penutup kaki dan berkerlap-kerlip jika terkena cahaya, hadiah ulang tahun dari pacar. Sayangnya , karena antara bagian tumit dan atasnya lepas , saya terpaksa mengistirahatkan dia dari tugasnya.

Sebenarnya , kaki saya yang panjang dan lebar dengan ukuran jempol yang lebih besar dari ukuran jempol wanita pada umumnya, sangat cantik (menurut saya) memakai selop dengan tumit  yang juga besar dan tinggi ,  apalagi , warnanya hitam. Warna kesenangan saya selain ungu.
Mungkin saya yang tidak memperlakukan dia dengan baik dan benar sewaktu saya pakai berjalan-jalan, sehingga dia memilih untuk melepaskan bagian tumit dan atas nya dari kaki saya , ketika sedang saya pakai berjalan di jalanan ramai di kawasan Kemang.  Dia mogok jalan.! Saya cuma bisa bengong , antara malu, marah dan kepingin ngakak jadi satu , ketika melihat satu tumit tinggi saya terlepas dan  hanya bagian atas nya yang nyangkut di kaki saya. Dari pada jalan timpang, kedua selop saya lepas , dan saya berjalan tanpa alas kaki mampir ke toko 24 jam ,membeli sandal jepit dan mengganti selop kesukaan saya dengan sandal jepit. Mungkin saya cuma cocok memakai sandal jepit daripada si wedges bling-bling. Pacar saya malah menertawai saya habis-habisan sepanjang jalan.

Cerita tentang barang kesayangan masih berlanjut, beberapa waktu lalu , ketika  liburan di Jakarta, saya menunggu bajaj dengan pacar di daerah Kota Tua menuju stasiun Kota.  Saya memakai T-Shirt warna putih (juga pemberian pacar) dan jeans biru kesayangan  yang paling sering dipakai dan paling sering dicuci , karena  paling nyaman digunakan. Sebelumnya, beberapa bajaj lewat tapi berisi penumpang. Akhirnya satu bajaj warna biru yang kosong berhenti di depan kami, ketika baru sebelah kaki melangkah masuk ke dalam bajaj, tanpa saya sadari , ada cantolan besi cukup panjang untuk mengunci pintu  bajaj tersangkut di celana dan merobek celana  kesayangan saya cukup panjang dan lebar tepat di bagian paha kebawah. Jadi sepanjang jalan menuju stasiun Kota tas selempang saya  berfungsi menutupi paha saya yang terbuka. Niat semula , tawaf , keliling mall , terpaksa dirubah dengan mampir dulu ke kos pacar untuk mengganti celana panjang saya yang robek dengan celananya, karena saya memang tidak punya celana lagi.  Masih untung saya , kerena celana robek saya, saya bisa dapat dua jatah celana  yang sudah tidak bisa dipakai lagi karena dia sudah lebih gendut dari saya.
Ini mungkin juga pertanda kalo celana jeans kesayangan saya , sudah lelah saya pakai berulang-ulang dan jarang beristirahat. Akhirnya dia memilih merobek dirinya sendiri demi untuk bisa pensiun dari saya.
Kembali ke speaker rusak , pacar dan anak-anak saya yang saya bilang bersekongkol mogok sama-sama, ini pasti karena saya terlalu sering menggunakan mereka hanya untuk kepentingan saya dan jika saya perlu saja . Saya lupa kalau saya juga perlu berhenti sejenak, memperhatikan dan mendengarkan apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan mereka. Kali ini giliran saya yang  harus diam  , mendengarkan apa yang menjadi kepentingan mereka  … saya juga harus menjaga supaya benda dan orang-orang tersayang saya tidak saya abaikan keberadaannya , yang  menjadi penyemangat hidup saya …









Thursday, March 28, 2013

Surat Terbuka Pater Eman Embu, Caritas Keuskupan Maumere, Tentang Pengungsi Palue

From: Eman Embu [mailto:emanembu@gmail.com]
Sent: Thursday, March 28, 2013 11:31 PM

Sahabat-sahabat semua,
Tadi malam saya ada di Transito, Maumere, Flores, salah satu tempat penampungan pengungsi Rokatenda di Maumere. Pengalaman semalam sangat menghantui saya. Ketika saya merayakan Misa Kamis Putih sore menjelang malam tadi, pengalaman  itu juga terus keluar masuk di benak saya. Tak pergi. Tak hilang.

Semalam, untuk 40 keluarga di Transito, saya memutar film "Perempuan Nagari" tentang dampak bencana untuk perempuan dan anak-anak sesudah gempa Padang. Saya juga memutar film, Kampung di Atas Api. Ini film tentang Bencana Gunung Rokatenda.

Dalam kegelapan, sesudah dua film itu diperlihatkan, ada seorang perempuan yang meratap. Saya tak tahu siapa nama perempuan itu. Saya juga tak melihat wajahnya. Lama sekali ia meratap. Saya hanya terdiam. Lama, lama sekali semua kami terdiam. Sesudahnya baru seorang sahabat, kontributor TV One yang baru kembali dari Palue, menginformasikan tentang situasi terkini di sana kepada pengungsi.

Sesudahnya baru saya tahu, betapa sulit dan kerasnya hidup di Transito. "Untuk lebih dari 40 keluarga hanya disiapkan empat toilet. Tak dipisahkan untuk laki-laki dan perempuan. Air bersih  kurang, selalu kurang. Anak-anak kebanyakan tak mandi pada sore hari sesudah seharian bermain.  Dapur tak ada, ibu-ibu memasak di emperan bangunan penampungan. Bahan bakar tak disiapkan. Sebagian warga tidur beralaskan terpal," demikian kata pengungsi.

"Romo, kalau bisa carikan saya satu bantal, dingin, saya tidur di terpal, tak ada bantal," ini permintaan seorang bapa lewat separuh umur ketika saya pamit meninggalkan Transito, sekitar jam sepuluh malam.

Lebih dari 2000an keluarga mengungsi ke Flores pasca letusan Rokatenda sejak akhir tahun lalu. Saya tak tahu bagaimana keadaan pengungsi di Mausambi, Ende. Saya juga tak tahu bagaimana keadaan pengungsi yang ditampung di rumah-rumah keluarga. Entalah! Entah pengalaman semalam membuat saya sangat sentimentil. Entalah! Entah saya kelewat membaca literatur tentang perempuan dan anak-anak dalam bencana.

Tapi, suara ratapan perempuan dalam kegelapan itu tak hilang dari ingatan, juga tatkala email ini ditulis untuk Anda.

Lantaran keluhan adalah kebebasan, saya ingin mengatakan secara afirmatif, "Negara tak sungguh hadir;  ia alpa ketika warga menderita." Itu saja, sekedar untuk berbagi rasa dengan Anda.

Eman