Home

Thursday, July 15, 2010

Panen Perdana


Senin pagi itu langit cukup bersahabat. Para petani di dusun Tuwi Tarok, desa Jambak , Kec. Pante Ceremen, Aceh Barat, mulai kelihatan ramai di persawahan lengkap dengan peralatan sadeupnya (arit) masing-masing. hari itu mereka turun untuk memanen padinya setelah menunggu hampir 3 bulan lebih. Semangat bercampur rasa senang nampak menghiasi wajah-wajah letih yang sudah lama menantang matahari itu. Di hamparan seluas 3,41 Ha terlihat padi yang menguning sempurna dan rumpun yang berlomba-lomba menundukkan bulirnya.

Kelompok padi besutan YPS sejak pertengahan tahun silam diperkenalkan dengan pola penanaman padi SRI (System of Rice Intensification). SRI sebenarnya metode lama dalam bercocok tanam padi dan hasilnya pun sudah banyak diakui di berbagai belahan dunia di antaranya Cina dan India. Gagasan SRI pada mulanya dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 dan telah merambah luas bahkan sampai ke Indonesia yang kala itu sedang kewalahan mempertahankan status swasembada pangannya. Setelah terbukti bahwa metode SRI bisa melipatgandakan hasil panen sekaligus menurunkan biaya produksi, maka metode ini mulai diujicoba di beberapa wilayah di Indonesia, seperti di Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Hasilnya memang sangat mengagumkan; dari satu hektar lahan bisa menghasilkan 6, 8, bahkan 10 ton dari semula yang hanya sekitar 3-4 ton saja

Diharapkan dengan diadopsinya teknik ini, para petani padi di Kec. Pante Ceremen dapat meningkatkan kuantitas sekaligus kualitas produksinya, yang pada akhirnya bermuara pada perbaikan kesejahteraan ekonomi petani. Dulu kehidupan petani ibarat memakan buah simalakama: jika produksi sedikit, petani susah; namun produksi banyakpun harga beras malah turun. Mungkin dengan adanya pembaharuan sistem intensifikasi padi seperti SRI ini bisa menjadi angin segar bagi petani untuk tetap semangat turun ke sawah.

Dari ujung hamparan terlihat Ibu Nursyahbandi, seorang janda berusia 60 tahun, tengah mengayunkan sadeupnya memotong padi sambil sesekali mengetatkan kain penutup kepalanya. Waktu itu mereka melakukan meurup (bekerjasama bergiliran) di lahan Pak M. Yunus untuk memotong padinya dan kemudian akan berpindah ke lahan milik orang lain sampai semua padi di hamparan tersebut berhasil dipotong. Di sela-sela istirahat siang, sepenggal perbincangan dengan Ibu tiga anak ini berhasil saya rangkum disini.

“Metode SRI itu lucu ”, Ibu Nur mengawali percakapan sambil tersenyum “ karena benih yang dipakai untuk lahan keluarga seluas seperempat hektar itu hanya satu kilo saja”. Sambungnya lagi “Dulu saya harus menabur 53 kilo benih padi di petakan sawah yang sama dan masih harus menjaganya” .

Memang, dengan SRI, petani cukup menyediakan nampan (baskom) yang diisi dengan tanah bercampur sekam dan kotoran kerbau. Di nampan itulah benih padi ditaburkan dan cukup diletakkan di dalam rumah yang memiliki cahaya matahari cukup.

Petani senang karena tidak perlu repot membuat pagar pelindung lagi dan harus terus menjaga lahannya agar tidak diganggu ternak . Selang 12 - 14 hari adalah waktunya benih yang sudah keluar malai untuk dipindahkan ke lahan sawah. Petani punya teknik tersendiri untuk mempersiapkan lubang tanam yang secara teori harus berjarak 25 cm x 25 cm untuk setiap 1 bibit ‘diakarkan’. Dengan menggunakan 2 utas tali rafia beliau memancangkan 1 bibit di 1 lobang dengan jarak tanam yang sudah dibuat. Pemakaian air juga sangat hemat dan sesuai kebutuhan karena menggunakan sistem irigasi berselang, artinya tanah cukup dalam kondisi lembab tanpa perlu digenangi air sepanjang waktu. Ada beberapa perubahan yang kasat mata bisa dilihat . Pertama, jumlah rumpun jadi banyak muncul yang tadinya hanya 1 malai saja, sekarang ± mencapai 15 malai. Sementara dengan pola yang biasa di gunakan, jumlah malai yang tumbuh adalah sebanyak jumlah malai yang ditanam ketika berupa bibit (sekitar 5 malai). Perubahan kedua adalah, malai padi SRI lebih tinggi 5 cm jika dibandingkan dengan padi biasa sehingga jumlah bulirnya juga lebih banyak. Padi sistem biasa hanya mampu menghasilkan 142 bulir per malai, sementara padi SRI bisa menghasilkan sampai 192 bulir per malai,.

Penggunaan MOL (Mikro Organisme Lokal) sebagai pengganti Decis ataupun pestisida kimiawi lainnya sangat menghemat pengeluaran petani. Selain menghemat uang , bahan organik ini juga ramah lingkungan, sehingga mengurangi kandungan racun didalam padi. Proses pembuatan MOL tidaklah sulit, hanya tinggal mengumpulkan bahan-bahan seperti sayur dan buah yang sudah busuk , rebung dan bonggol pisang yang tersedia di sekitar desa, dan dicacah hingga hancur. Untuk melengkapi pola SRI yang ramah lingkungan, pemakaian pupuk kompos juga sangat dianjurkan kepada para petani. Sama seperti pembuatan MOL, pembuatan kompos pun dilakukan secara gotong royong dalam kelompok.

Sedikit  menjadi kendala adalah bahwa selama ini masyarakat cenderung memiliki kalender tanam yang berbeda-beda dan mempengaruhi produksi maksimal pertanian. Mencermati keadaan musim yang semakin tidak menentu saat ini, apakah perhitungan musim tanam (tata musim ) dan kearifan lokal masih bisa dipergunakan untuk memperhitungkan dan  memaksimalkan musim tanam para petani ? 

Penulis : Rani  B.A.R.U.S

Project Officer
CARITAS Switzerland Aceh
Meulaboh 23617, Indonesia
Tel: +62 655 7000 898
Mobile: +62 813 7065 8638
E-Mail: rbarus@caritas.ch
Homepage: www.caritas.ch

No comments:

Post a Comment