Home

Tuesday, June 15, 2010

Refleksi Kehidupan : Pandawa - Kurawa

Dalam epos Mahabharata dan Bharatayuda, Kurawa (suatu entitas yang diasumsikan jahat, serakah, suka memfitnah dan merebut takhta yang bukan haknya) suka "main keroyok". Jumlah Kurawa lebih banyak ketimbang Pandawa (entitas yang diasumsikan baik, kesatria, suka menolong, dan yang haknya atas takhta kerajaan direbut pihak Kurawa dengan berbagai trik jahat mereka). Kurawa berjumlah seratus, sedangkan Pandawa hanya lima (makanya sering disebut Pandawa Lima). Dalam epos Mahabharata dan Bharatayuda tidak ada demokrasi, sehingga walaupun suka "main keroyok" Pandawa tetap menang, dalam konflik-konflik kecil secara fisik sebelum perang besar Bharatayuda. Pandawa Lima memang lebih sakti ketimbang para anggota Kurawa. Dalam suatu episode, Bima (Werkudara) pernah mengobrak-abrik para Kurawa yang "mengeroyok", hingga dipisahkan oleh Patih Haryo Sengkuni (Sakuni atau Sangkuni). Dalam belajar dan mengasah diri dalam ilmu kanuragan, Pandawa lebih serius ketimbang Kurawa, sehingga murid yang dianggap paling jenius oleh Resi Durna (Durno) adalah Arjuna (Janaka). Tetapi, karena kelicikannya, dan juga hasutan jitu paman mereka, yakni Patih Haryo Sengkuni, Pandawa pun dijebak dalam suatu permainan dadu. Dalam babak "dadu malapetaka", Yudhistira dijebak dan kalah dalam permainan dadu, sehingga harus kehilangan martabat (harga diri), kerajaannya, serta berakibat terusirnya Pandawa Lima dari kerajaan, dan harus mengelana di hutan.
Kisah Pandawa mirip dengan cerita sinetron. Efek penzaliman terhadap pihak Pandawa oleh Kurawa memang luar biasa, sehingga penonton menjadi sangat bersimpati kepada Pandawa. Dalam satu kisah menjelang perang Bharatayuda , Arjuna sempat "ngambek", tak mau ikut terlibat dalam memerangi Kurawa yang notabene adalah saudara-saudara Pandawa sendiri. Tapi Kresna, filsuf dan sang ahli strategi, membujuk dan menasihatinya panjang-lebar, bahwa perang tak dapat dicegah dan sudah ditakdirkan, dan Pandawa harus maju ibaratnya memerangi kejahatan. Akhirnya, arena Kurukshetra, tempat dendam Pandawa terlampiaskan, pun membara. Perang besar terjadi, dan darah tumpah di mana-mana. Para kesatria kedua kubu berguguran. Pelajaran apa yang tertinggal dari kisah-kisah yang menggelegar di dunia pewayangan itu? Secara normatif, para penonton wayang diharapkan sadar akan adanya nilai-nilai kebaikan, kejujuran, kemanusiaan, berani membela yang benar (prinsip), dan berani pula mengakui kesalahan dan memperbaikinya. Itulah sifat-sifat kesatria. Dibalik itu ada simbol-simbol dan wujud-wujud kejahatan dalam hal-ihwal kekuasaan. Simbol dan wujud kejahatan itu dicontohkan dalam merebut takhta yang bukan haknya, melakukan pembenaran atas hal tersebut. Kejahatan selalu bertumpu pada merebut sesuatu yang bukan haknya, dan menempatkan yang sejatinya punya hak sebagai orang-orang tertindas.

Dalam logika Bharatayuda, Arena Kurukshetra adalah arena "permainan yang sesungguhnya", perang tanding secara fair antar-kesatria kedua belah pihak. Mereka bertempur habis-habisan, dengan segala taktik dan strategi, tapi tetap ada aturannya. Dalam Bharatayuda jelas: siapa kawan siapa lawan. Tidak ada yang lari meninggalkan perang , kecuali Aswatama (satu-satunya putra Resi Durna), yang segera dinilai "bernyali kecil". Aswatama diceritakan sangat tidak kesatria karena selain meninggalkan arena perang, menyusup ke tenda lawan (pihak Pandawa) di suatu malam dan menghabisi mereka yang tengah tertidur. "Demokrasi Kurusetra" tidak mentoleransi para kesatria yang culas, walaupun Yudhistira telah "berbohong" kepada Resi Durna hingga menyebabkan kematiannya (dengan mengatakan Aswatama telah mati, dan secara lirih menambahkan Aswatama yang dimaksud adalah nama seekor gajah).

Apakah prinsip kesatria masih diutamakan dalam kehidupan kita? Kalau mentalitas takut kalah masih menonjol, maka lenyaplah prinsip kesatria. Kesatria tak takut kalah dalam mempertahankan dan membela prinsip yang diyakininya. Buat apa menang, kalau kemenangan itu dilakukan secara culas dan licik? Kalau mentalitas "yang penting menang" masih dominan, prinsip kesatria terpinggirkan, sebab yang diutamakan adalah penghalalan segala cara. Kita tidak menginginkan perang habis-habisan ala Bharatayuda. Kita mestinya tidak boleh ekstrem "zero sum game". Kita harus tetap rasional dan manusiawi untuk menggapai kepentingan yang lebih besar.

Cara-cara manipulasi simbolis dan klaim-klaim palsu ala Kurawa bisa saja terjadi di pihak yang mengklaim berpihak pada Pandawa. Istilah Kurawa memang telah mengerucut sedemikian negatifnya, sebagai simbol kejahatan yang akhirnya dapat "dimusnahkan" oleh Pandawa, sang simbol kebenaran. Dalam dunia nyata, kejahatan bisa ada di setiap kelompok sosial, apalagi politik, mengingat setiap manusia berpotensi gagal mengendalikan hawa nafsu dan melampiaskannya dalam berbagai bentuk kejahatan yang kasar hingga yang halus, hingga mereka yang "baik" bisa menjadi "jahat" dalam berebut kekuasaan.

No comments:

Post a Comment